Sabtu, 17 November 2012

Undang-Undang Migas harus diamandemen.

Mahkamah Konstitusi telah membatalkan sebagian ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Migas, yang antara lain menyangkut tugas dan kewenangan Badan Pengatur Minyak dan Gas.
Uji materi yang kemudian disetujui tersebut diajukan oleh Din Syamsudin dan kawan-kawan beserta lebih dari 10 organisasi kemasyarakatan pada awal tahun 2012.
Karena tugas dan kewenangannya dihapus, maka otomatis organisasi Badan Pengatur Minyak dan Gas (BP Migas) menjadi lumpuh, yang kemudian bisa dikatakan bubar.
Untuk membahas permasalahan ini perlu kita menengok kebelakang yaitu pada masa awal reformasi.

Ketika era reformasi dimulai yang ditandai dengan jatuhnya rezim Suharto, negara-negara barat yang dipelopori oleh Amerika Serikat segera berusaha untuk menguasai sumber daya alam Indonesia dengan strategi baru yaitu melalui peraturan perundang-undangan. Karena alasan reformasi, maka banyak undang-undang yang perlu di "reformasi" agar menguntungkan negara-negara asing tersebut.  Dengan menggunakan cara klasik yaitu mempengaruhi dan mengikat orang-orang yang turut menentukan, mulai dengan presiden sampai dengan menteri-menteri, anggota DPR, LSM, pejabat-pejabat tinggi dan lain-lainnya. Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur investasi atau pengelolaan sember daya alam direkayasa sedemikian rupa sehingga membuka jalan bagi asing untuk masuk, dan proses pemberian hak konsesi menjadi terbuka secara internasional.
Ketentuan bahwa menentukan perusahaan yang berhak melakukan explorasi dan exploitasi sumber minyak harus melalui tender/lelang secara terbuka terkesan baik, tetapi menjadi aneh dan melanggar Undang-Undang Dasar 1945, karena negara tidak bisa mengelola sendiri kekayaan alamnya.

Bila penentuan perusahaan dilakukan dengan lelang internasional, maka Pertamina dan perusahaan minyak nasional lainnya akan kalah. Kekalahan dalam tender tersebut terutama dari aspek teknologi, finansial dan manajemen. Karena itu tidak heran apabila sekitar 75% ladang minyak Indonesia dikuasai oleh kontraktor-kontraktor minyak asing.
Perjanjian yang dibuat antar BP Migas dengan kontraktor minyak asing tersebut juga merugikan negara, karena seluruh biaya operasional untuk memproduksi minyak/gas dibebankan ke negara.
Perjanjian yang membagi hasil perolehan minyak yaitu Indonesia 85% dan kontraktor sisanya, cukup fair, apalagi kalau dibandingkan dengan sumber daya alam lainnya seperti emas, tembaga, batubara, nikel dan lain-lainnya, dimana negara hanya memperoleh 10% (Freeport), 15% (Newmont), dll.

Sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945, seharusnya hak pengelolaan  sumber-sumber minyak, gas, dan mineral lainnya, diberikan ke Badan Usaha Milik Negara dulu sampai dengan kemampuan  BUMN tersebut, baru sisanya dikerjasamakan.
Badan Pengatur Migas sendiri memiliki kemampuan dan kapasitas yang baik, karena itu tidak perlu dibubarkan, tetapi direorganisasikan dan dirubah tugas, fungsi dan wewenangnya.
Hal yang mendesak untuk dilakukan adalah merevisi/mengamandemen Undang-Undang Migas agar tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar