Minggu, 11 Agustus 2013

PEMBANGUNAN DI INDONESIA UNTUK SIAPA?


Pembangunan fisik dan prasarana di Indonesia selama ini ternyata masih berupa pesanan, atau dapat dikatakan menguntungkan negara-negara lain dan perusahaan-perusahaan asing. Kita terlalu banyak berkorban untuk mendapatkan sesuatu yang baru. Seakan-akan kita beruntung, padahal pihak lain yang lebih besar menikmati keuntungan. Dan pemerintah sejak orde baru sampai sekarang menerima  kondisi tersebut, entah karena tidak tahu atau karena mendapat imbalan atau suap.

Sejak awal orde baru sampai akhir tahun 80'an, Jepang enggan membantu pembangunan jalan kereta api di Indonesia, tetapi banyak membantu memberi pinjaman dana pembangunan jalan darat untuk kendaraan. Hal ini bukan tanpa sebab atau motif. Kalau mendahulukan pembangunan jaringan jalan kereta api, Jepang tidak akan memperoleh keuntungan seperti kalau membangun jaringan jalan untuk kendaraan. Kendaraan yang mayoritas produksi Jepang tentu tidak berfungsi kalau tidak tersedia jalan, sedangkan jaringan
jalan kereta api hanya digunakan oleh paling puluhan rangkaian kereta api dibandingkan jutaan mobil dan kendaraan lainnya yang dihasilkan oleh industri otomotif mereka.

Jepang juga membantu pengembangan budi daya udang yang sudah pasti ada udang dibalik batu.
Bangsa dari matahari terbit ini adalah pemakan udang terbanyak, karena itu perlu pemasokan yang yang cukup dan pasti serta harga yang murah. Jepang dengan "baik hati" memberi bantuan gratis untuk pengembangan benih udang yang sangat diperlukan oleh petambak udang yang berkembang pesat. Sebagian besar hasil tambak udang diekspor ke Jepang dengan persyaratan mutu yang ketat dan kontrol harga dari pengimpor. Petambak udang kita memang beruntung, namun Jepang lebih beruntung lagi, karena pasokan udangnya terjamin.


Satu contoh lagi adalah Freeport di Papua. Sampai cadangan emas dan tembaga di wilayah yang dikelola oleh pt. Freeport habis, Indonesia hanya kebagian 10% dari produksi tambang tersebut.
Bandingkan dengan minyak bumi yang 85% menjadi hak Indonesia. Yang menarik pada tahun 1998 menjelang Soeharto jatuh, kontrak pertambangan Freeport diperpanjang, padahal kontraknya baru berakhir pada tahun 2010. Artinya Amerika dalam hal ini pt Freeport ingin mengamankan kontrak mereka agar tidak kena dampak dari pergantian kekuasaan. 

Di era orde baru, pendekatan yang dilakukan oleh pihak luar adalah langsung kepada penguasa, setelah masuk masa reformasi, pendekatan yang dilakukan adalah melalui peraturan perundang-undangan. Hal ini terlihat dari Undang-undang Migas yang beberapa waktu lalu dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi. Perusahaan-perusahaan minyak asing melalui negara masing-masing, ikut mendikte rancangan Undang-undang Migas tersebut, sehingga eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber minyak harus ditenderkan secara internasional. Artinya kita tidak berdaulat atas kekayaan alam yang ada di negara kita.

Contoh-contoh diatas hanya sedikit dari sekian banyak kasus yang merugikan Indonesia dan sekaligus sangat menguntungkan pihak luar. Sumber daya alam yang luar biasa di Tanah Air ini sebagian besar dinikmati oleh bukan rakyat sendiri, tetapi oleh negara-negara lain.

Tulisan ini dimaksudkan agar seluruh rakyat Indonesia sadar dan tahu apa yang terjadi, sehingga dapat mencegah terulangnya kesalahan masa lalu tersebut dan dapat memilih pemimpin yang betul- betul berjuang untuk Merah-Putih.

   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar