Jumat, 28 September 2012

Reformasi Birokrasi 2


Indonesia sejatinya mempunyai sumber daya manusia yang cerdas yang tidak kalah pintar dengan manusia dari belahan manapun di dunia. Buktinya, kalau diadu kepintaran melalui olimpiade fisika, matematika, kimia, komputer, lingkungan, sosial budaya, dan lain-lain, selalu menang. Minimal menjadi juara kedua, sedangkan juaranya berlainan negara. Matematika biasanya bersaing dengan China, sedangkan komputer sering berebut juara dengan India. Kalau ada olimpiade gabungan dari semua ilmu, maka dapat dipastikan Indonesia menjadi juara umum.

Kick Andy pada salah satu episodenya pernah mengadakan acara mengundang pakar dan orang pintar Indonesia yang bekerja sebagai ahli di luar negeri. Meskipun pakar  yang hadir di acara tersebut tidak banyak, namun di acara yang sesungguhnya yang memang diorganisir untuk mengumpulkan ahli-ahli Indonesia yang bekerja di luar negeri itu tercatat sekitar 600 orang.
Data yang diperoleh panitia menunjukkan ada ribuan orang Indonesia yang bekerja diluar negeri, yang rata-rata berpendidikan doktor (PhD), dan banyak yang mempunyai paten atas berbagai penemuan. Nyaris semuanya mendapat kedudukan yang terhormat di institusi terkemuka, bahkan banyak memimpin organisasi atau tim yang anggotanya dari negara yang berbeda.

Di dalam negeri sendiri juga amat banyak sarjana yang berkemampuan tinggi yang mempunyai integritas dan inovasi, termasuk yang bekerja sebagai pegawai negeri. Ironisnya kebanyakan dari mereka justru tidak mempunyai peran apalagi kedudukan.
Sistem penerimaan pegawai negeri baik polisi maupun sipil di Indonesia, terutama sebelum tahun 2005 sangat buruk, nepotisme dan uang menjadi yang utama atau yang berkuasa. Kemudian setelah masuk, terjebak pada budaya feodal dan asal bos senang (ABS). Mereka yang masuk menjadi pegawai negeri karena kekuatan uang, akan sibuk mencari cara untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan, dengan melakukan pungutan liar (pungli), atau meminta imbalan pada setiap layanan yang seharusnya gratis.

Sistem karir pegawai negeri pada umumnya juga tidak kalah parahnya. Tidak mungkin pegawai yang cerdas dan rajin bisa naik jabatan apabila termasuk mereka yang vokal atau yang tidak mau diajak KKN. Banyak pimpinan yang tidak mempunyai kemampuan manajerial, tambah celaka lagi bila pimpinan tersebut suka dengan harta. Kalau bawahan tidak loyal kepada pimpinan, jangan harap bisa naik jabatan. Pernah terjadi seorang pegawai yang hanya mempunyai  kemampuannya seperti "cleaning service" bisa naik jabatan, hanya karena pintar melayani segala kemauan pimpinan.

Sistem penerimaan dan karir pegawai negeri harus dirubah menjadi seperti di swasta. Antara lain pada daftar riwayat hidup perlu dicantumkan daftar keberhasilan nyata yang diakui oleh beberapa pihak, untuk mengukur prestasi pegawai yang bersangkutan. Kreativitas dan kerajinan serta integritas harus mendapat penilaian yang tinggi. Pendidikan jenjang kedinasan yang dikaitkan dengan jabatan perlu dihapus, dengan training fungsional. Karena pendidikan seperti Diklat Pim/ Spamen/Spati, ataupun Lemhanas ternyata tidak bisa mencegah terjadinya korupsi dilingkungan pemerintah. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar