Senin, 10 September 2012

Sepak bola negeriku

Olahraga yang satu ini bersaing populernya di Indonesia dengan bulutangkis. Kalau dihitung dari jumlah pemain atau penggemarnya, tentu sepak bola jauh lebih banyak, namun ditinjau dari prestasi, amatlah jauh berbeda. Ini terlepas dari prestasi bulutangkis yang juga sedang merosot.

Di Inggris, sepak bola menjadi bisnis yang patut diperhitungkan, baik dari nilai perputaran uangnya maupun masyarakat yang terlibat. Banyak orang Indonesia yang hapal dengan nama pemain dari Klub sepak bola seperti Manchester United, Chelsea, Manchester City, Arsenal maupun yang lain.
Bahkan perusahaan penerbangan Garuda Indonesia ikut menjadi sponsor klub sepak bola Liverpol, patut dipertanyakan, mengapa Liverpol yang disponsori, mungkin karena nggak terlalu mahal.
Inggris sendiri gagal meraih prestasi diajang Olimpiade yang baru lalu maupun kejuaraan sepak bola dunia yang terakhir di Afrika Selatan.

Di Indonesia ternyata sepak bola juga menjadi bisnis yang menarik, buktinya Nugraha Besoes betah menjadi Sekretaris Jenderal PSSI selama belasan tahun sampai berdua dengan Nurdin Halid digulingkan dalam Kongres Luar Biasa PSSI. Sayangnya setelah itu konflik di tubuh organisasi nasional sepakbola masih berkepanjangan. Tentu ada yang menarik, sehingga diperebutkan.

Pengalaman saya waktu menangani sepakbola di Kalimantan Tengah manjadi kenangan yang tidak terlupakan. Ketika bertugas selama 5 (lima) tahun antara tahun 1984 sampai dengan tahun 1989, saya banyak meluangkan waktu untuk berolahraga, maklum itu merupakan salah satu rekreasi yang sehat. Selain tenis, maka sepak bola juga menjadi hobi (meskipun lebih banyak menjadi pembina).
Atas permintaan staf/karyawan serta teman-teman saya, maka pada tahun 1986, kami dirikanlah sebuah klub sepak bola amatir dengan nama Persatuan Sepak bola Bina Tirta. Klub ini benar-benar amatir, karena saya hanya mengusahakan biaya untuk latihan dan kostum saja. Kebutuhan seperti sepatu sepak bola, mereka membeli sendiri, meskipun dibantu dengan pinjaman yang diangsur.

Dalam waktu 2 (dua) tahun, hanya dengan sekali ikut kompetisi Divisi kedua Persepar, klub kami tersebut langsung menjadi juara, dan naik ke Divisi Utama Persepar. Kemudian di tahun ketiga klub PS Bina Tirta mengikuti kompetisi Divisi Utama Persepar dan menjadi juara kedua dibawah klub sepak bola Isen Mulang yang merupakan binaan Pemerintah Provinsi.
Kunci keberhasilan dalam pembinaan olah raga pada umumnya dan sepak bola pada khususnya, adalah; dari aspek non teknis, terpenuhinya kebutuhan fisik dan rohani minimal (pemain kami tidak digaji), kemudian dari aspek teknis adalah kemampuan fisik, skill (keterampilan mengolah bola), dan cerdas (agar bisa melaksanakan strategi).
Tetapi ini semua hanya pada tingkat provinsi lho, di Kalimantan Tengah pula.

Ketika tahun 1989 pindah tugas ke Medan, saya ditawarin untuk menangani klub sepak bola PU Putera, yang merupakan inti klub Persatuan Sepak bola Deli Serdang. Saya menolak, dengan alasan tidak punya uang. Membina klub sepak bola di Medan atau di tempat lain yang tidak murni amatir apalagi yang profesional, tentu membutuhkan anggaran yang besar, yang tidak bisa saya penuhi.
Sebenarnya sebuah klub sepak bola profesional mampu mandiri bahkan bisa menghasilkan keuntungan finansial kalau ditangani secara profesional dan didukung iklim sepak bola yang sehat.       
Nah bagaimana dengan sepak bola nasional kita, atau yang sudah disebut Tim Nasional Garuda? Prestasinya masih merupakan impian, kadang-kadang menimbulkan secercah harapan, tetapi yang kemudian terjadi adalah kekecewaan yang besar. Sepak bola nasional kita memerlukan komitmen yang kuat dari seluruh elemen dan konsisten untuk jangka panjang. Perlu orang-orang jenius yang hidupnya memang untuk sepak bola. Semoga segera ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar